Thursday, June 08, 2006

Aku Biasa-biasa Saja

Disini aku ingin berbagi mengenai suatu cerita yang menarik untuk kita-kita orang tua dan sebagai diri sendiri dalam memandang fenomena diri dan anak. Aku peroleh dari suamiku yang katanya dari
http://mail.informatika.org/~rinaldi/Koleksi/
Artikel/Aku%20Biasa-biasa%20Saja.htm


Begini kisahnya:

Tahukah anda, apa yang paling dibanggakan orang tua dari anak-anaknya? Boleh jadi adalah kecerdasan scholastic, seperti matematika, bahasa, menggambar (visual), musik (musical), dan olahraga (kinestetik).

Tetapi, pernahkah kita membanggakan jika anak kita memiliki kecerdasan moral, kecerdasan intrapersonal, atau kecerdasan interpersonal?

Rasanya jarang, sebab ketiga kecerdasan yang terakhir hampir pasti uncountable, tidak bisa dihitung, dan sayang sekalin tidak ada pontennya (nilainya) di sekolah, karena di sekolah hanya memberikan penilaian kuantitatif.

Ada sebuah cerita tentang seorang anak, sebut saja namanya Fani (6,5 tahun), kelas I SD. Ia memiliki banyak sekali teman. Dan ia pun tidak bermasalah harus berganti teman duduk di sekolahnya. Ia juga bergaul dengan siapa saja dilingkungan rumahnya. Ada satu hal yang menarik saat ia bercerita tentang teman-temannya.

"Bu, Ifa pinter sekali lho, Bu...! Pinter Matematika, Bahasa Indonesia, Menggambar....pokoknya pinter sekali....!" katanya santai. Vivi juga pintar sekali menggambar, gambarnya bagus ...sekali! Kalau si Yahya hafalannya banyaaak... sekali!"

Ya memang fani senang sekali membanggakan teman-temannya. Ketika mendengar celoteh anaknya ibunya tersenyum dan bertanya, " Kalau mbak Fani pinter apa?" Ia menjawab dengan cengiran khasnya," Hehehe...kalau aku, sih, biasa-biasa saja".

Jawaban itu mungkin akan sangat biasa bagi anda, tetapi ibunya tertegun, karena pada dasarnya fani memang demikian. Ia biasa-biasa saja untuk ukuran prestasi scholastic.

Tapi coba kita dengarkan apa cerita gurunya, bahwa Fani sering diminta bantuannya untuk membimbing temannya yang sangat lamban mengerjakan tugas sekolah, mendamaikan temannya yang bertengkar.

Bahkan ketika dua orang adiknya, Farah (4,5 tahun) dan Fadila (2,5 tahun) bertengkar. Fani langsung turun tangan. "Sudah..! sudah, Dek! sama saudara tidak boleh bertengkar, Hayo tadi siap yang mulai?" Adiknya saling tunjuk."Hayo, jujur ...1Jujur itu disayang Allah..! Sekarang salaman ya... saling memaafkan".

Pun ketika suatu hari ia melihat baju-baju bagus di toko, dengarlah komentarnya!

"Wah bajunya bagus-bagus ya Bu? Aku sebenarnya pengin, tapi bajuku dirumah masih bagus-bagus, nanti saja kalau sudah jelek dan Ibu sudah punya rezeki, aku minta dibelikan ..."

Ibunya pun tak kuasa menahan air matanya, subhanallah anak sekecil itu sudah bisa menunda keinginan, sebagai salah satu ciri kecerdasan emosional.

Saya sebenarnya ingin berbagi cerita tentang ini kepada anda, karena betapa banyak dari kita yang mengabaikan kecerdasan-kecerdasan emosional seperti itu. Padahal kita tahu dalam setiap tes penerimaan pegawai, yang lebih banyak diterima adalah orang yang mempunyai kecerdasan emosional walaupun dari sisi kecerdasan scholastic adalah BIASA-BIASA SAJA.
Kadang kita merasa rendah diri manakal anak kita tidak mencapai ranking sepuluh besar disekolah. Tetapi herannya, kita tidak rendah diri manakala anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang egois, mau menang sendiri, sombong, suka menipu atau tidak biasa bergaul.

Maka ketika Fani mengatakan "AKU BIASA-BIASA SAJA", maka saat itu ibunya menjawab "Alhamdulillah, mbak Fani suka menolong teman-teman, tidak sombong, mau bergaul dengan siapa saja. Itu adalah kelebihan mbak Fani, diteruskan dan disyukuri ya..?" Ya... ibunya ingin mensupport dan memberikan reward yang positif bagi Fani. Karena kita tahu anak-anak kita adalah amanah dan suatu saat amanah itu akan diambil dan ditanyakan bagaimana kita menjaga amanah. Sebagaimana doa kita setiap hari agar anak-anak menjadi penyejuk mata dan hati.

Sudahkah kita mencoba untuk menggali potensi-potensi kecerdasan emosional anak-anak kita? Kalu belum mulailah dari diri kita, saat ini juga.

=========
Hal ini cocok sekali dengan apa yang ingin aku sampaikan. Tetapi kadang aku tidak memiliki keberanian untuk berkata jujur tentang hal ini kepada lingkungan. Aku pernah mengalami dua lingkungan yang berbeda, satu yang termasuk "BIASA BIASA SAJA" dan satunya lingkungan yang memiliki kecerdasan scholastic. Ternyata memang berbeda. Alangkah baiknya untuk seimbang diantara keduanya. Kalau lingkungan BIASA BIASA SAJA cenderung mau berbagi dan mengerti akan kondisi orang lain dan cenderung tidak sombong atau merendahkan kelebihan orang lain (Lihat saja contohnya si Fani diatas, dia dengan jujur mengakui kelebihan-kelebihan orang lain). Tetapi untuk sebagian orang yang memiliki kelebihan kecerdasan scholastic akan cenderung egois, tidak peka lingkungan, mau menang sendiri, tidak mau tau orang lain, menganggap orang lain itu bodoh dan tidak sepadan dengan dirinya, dan susah menerima kelebihan orang lain (maaf kalau ada yang merasa).
Hmm itu yang pernah kulihat dan kurasa. Memang orang akan berbuat sesuai dengan pemahaman ilmu yang dimiliki, oleh karena itu, marilah kita seimbangkan ilmu yang kita miliku dari ilmu yang scholastic dan ilmu yang biasa-biasa saja, agar hidup kita lebih bermanfaat bagi diri dan lingkungan, bagi dunia dan akhirat. Kita ciptakan indahnya dunia.....

Let's...

No comments: